Liputanberita.web.id - Gelombang demonstrasi yang marak di berbagai daerah Indonesia belakangan ini menunjukkan dua wajah demokrasi. Di satu sisi, rakyat berhak menyuarakan aspirasi. Di sisi lain, aksi yang seharusnya damai sering berubah menjadi kekisruhan. Pertanyaan yang menggelitik: siapa yang sebenarnya bermain di balik semua ini?
1. Politisi yang Menunggangi Isu
Tak bisa ditutup-tutupi, aksi massa sering kali menjadi panggung politik. Sejumlah politisi yang tak puas dengan kebijakan pemerintah—atau yang sedang membangun citra menjelang pemilu—menunggangi keresahan rakyat. Isu-isu yang seharusnya menjadi suara tulus masyarakat dipelintir menjadi alat serangan politik. Rakyat pun, tanpa sadar, dijadikan pion dalam permainan kekuasaan.
2. Provokator Bayaran
Fenomena provokator bukan hal baru. Setiap kali ada aksi besar, selalu muncul kelompok misterius yang tiba-tiba memicu kerusuhan. Mereka melempar batu, merusak fasilitas, bahkan memancing aparat untuk bertindak represif. Tujuannya jelas: mengacaukan citra gerakan rakyat. Di sinilah sering muncul dugaan bahwa ada “tangan-tangan tersembunyi” yang sengaja membayar provokator untuk menciptakan chaos.
3. Aparat yang Terjebak Sikap Represif
Peran aparat juga tidak bisa dikesampingkan. Alih-alih menjadi pengawal demokrasi, sering kali aparat bertindak berlebihan. Gas air mata, pentungan, hingga penangkapan acak membuat aksi damai berubah panas. Pertanyaan yang muncul: apakah sikap represif itu murni karena situasi lapangan, atau memang bagian dari strategi untuk melemahkan gerakan rakyat?
4. Media yang Membentuk Narasi
Di era digital, media bukan sekadar pelapor, tetapi juga pembentuk opini. Narasi media bisa membesarkan atau mengecilkan isu, bisa menampilkan demonstran sebagai pejuang rakyat atau perusuh jalanan. Framing ini sering kali sesuai dengan kepentingan pemilik media, yang tentu saja punya kedekatan dengan kekuatan politik tertentu.
Rakyat Harus Waspada
Demo adalah ruang sah rakyat untuk bersuara. Namun, dalam kenyataannya, rakyat kerap hanya dijadikan alat: dimanfaatkan politisi, dikacaukan provokator, direpresi aparat, lalu dicitrakan buruk oleh media.
Di tengah situasi ini, yang paling penting adalah kesadaran rakyat sendiri. Rakyat harus mampu menjaga gerakan tetap damai, mandiri, dan fokus pada substansi. Jangan sampai suara tulus rakyat tereduksi menjadi sekadar “alat permainan” elite. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana suara rakyat tetap murni terdengar.

Posting Komentar